ARTRITIS REUMATOID (RA)


ARTRITIS REUMATOID



A.    Definisi Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008).  Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).
Orang dengan RA mungkin dapat mengalami peningkatan gejala/ kekambuhan yang disebut dengan flare yang dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu. Pasien juga mungkin memiliki periode remisi di mana mereka memiliki sedikit atau tidak ada gejala sama sekali. Tidak ada obat untuk rheumatoid arthritis, namun obat dapat menghentikan perkembangan gejala penyakit dan meringankan gejala.
      Epidemiologi Artritis Reumatoid 
revalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia.  Beda halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih rendah ,sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75% (Suarjana, 2009). 
Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, merupakan RA . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa (Schneider, 2013).  Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-laki, dengan  rasio 6-8:1 (Longo, 2012).
B.     Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid
 RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).
a.       Stadium sinovitis.
 Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
b.      Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution, 2011). 
c.       Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).
Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009).
Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):
a.       Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012).
b.      Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
c.       Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).
d.      Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e.       Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f.        Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).
g.      Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).
h.      Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar  2-4 kali lebih besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas (Longo, 2012).
Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme (Longo, 2012).
C.    Faktor Risiko
Etiologi atau penyebab RA tidak diketahui. Banyak kasus yang diyakini hasil dari interaksi antara faktor genetik dan paparan lingkungan.

a.       Usia
Setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang menghalangi terjadinya gesekan antara tulang dan di dalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang berusia lanjut, lapisan  pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, sehingga tubuh menjadi sakit saat digerakkan dan menigkatkan risiko Rheumatoid Arthritis.
b.      Genetika
Ada bukti lama bahwa genotipe HLA kelas II tertentu dikaitkan dengan peningkatan risiko. Banyak perhatian pada DR4 dan DRB1 yang merupakan molekul utama gen histocompatibility kompleks HLA kelas II. Asosiasi terkuat telah ditemukan antara RA dan DRB1 yang * 0401 dan DRB1 * 0404 alel. Penyelidikan lebih  baru menunjukkan bahwa dari lebih dari 30 gen dipelajari, gen kandidat terkuat adalah PTPN22, gen yang telah dikaitkan dengan  beberapa kondisi autoimun.
c.       Jenis kelamin
Insiden RA biasanya dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita daripada pria. Timbulnya RA, baik pada wanita dan pria tertinggi terjadi di antara pada usia enam puluhan. Mengenai sejarah kelahiran hidup, kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa wanita yang tidak pernah mengalami kelahiran hidup memiliki sedikit  peningkatan risiko untuk RA. Kemudian berdasarkan populasi Terbaru studi telah menemukan bahwa RA kurang umum di kalangan wanita yang menyusui.

Salah satu sebab yang meningkatkan risiko Rheumatoid Arthritis pada wanita adalah menstruasi. Setidaknya dua studi telah mengamati bahwa wanita dengan menstruasi yang tidak teratur atau riwayat menstruasi dipotong (misalnya, menopause dini) memiliki  peningkatan risiko RA.
d.      Dimodifikasi
Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi telah dipelajari dalam hubungan dengan RA termasuk eksposur reproduksi hormonal,  penggunaan tembakau, faktor makanan, dan eksposur mikroba.
e.       Gaya Hidup
·         Merokok
Di antara faktor-faktor risiko, bukti terkuat dan paling konsisten adalah untuk hubungan antara merokok dan RA. Sebuah riwayat merokok dikaitkan dengan sederhana sampai sedang (1,3-2,4 kali) peningkatan risiko RA. Hubungan antara merokok dan RA terkuat di antara orang-orang yang ACPA  positif (protein anti-citrullinated / peptida antibodi), penanda aktivitas auto-imun.
·         Tidak Konsumsi Susu
Penderita AR memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami osteoporosis, untuk itu penting untuk menkonsumsi kalsium. Sumber kalsium seperti susu, keju, yogurt dan produk susu lainnya. Sebaiknya dipilih jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang lebih rendah seperti  skimmed milk atau semi skimmed milk.
·         Aktivitas Fisik
 Cedera otot maupun sendi yang dialami sewaktu  berolahraga atau akibat aktivitas fisik yang terlalu berat, bisa menyebabkan rheumatoid arthritis.

f.        Riwayat Reproduksi dan Menyusui
Hormon yang berhubungan dengan reproduksi telah dipelajari secara ekstensif sebagai faktor risiko potensial untuk RA:

·         Kontrasepsi oral (OC)
Studi awal menemukan bahwa wanita yang pernah menggunakan kontrasepsi oral memiliki penurunan moderat dalam risiko RA. Risiko menurun belum dikonfirmasi dalam studi terbaru. Konsentrasi estrogen kontrasepsi oral kontemporer biasanya 80-90% lebih kecil dari kontrasepsi oral  pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960, yang dapat menjelaskan kurangnya asosiasi dalam studi terbaru
·         Terapi Penggantian Hormon (HRT)
 Ada bukti campuran hubungan antara HRT dan onset RA
·         Sejarah kelahiran Hidup
 Kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa wanita yang tidak pernah mengalami kelahiran hidup memiliki sedikit  peningkatan risiko untuk RA

·         Menyusui
Berdasarkan populasi Terbaru studi telah menemukan bahwa RA kurang umum di kalangan wanita yang menyusui.
·         Riwayat menstruasi
Setidaknya dua studi telah mengamati bahwa wanita dengan menstruasi yang tidak teratur atau riwayat menstruasi dipotong (misalnya, menopause dini) memiliki peningkatan risiko RA. Karena wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memiliki peningkatan risiko RA, asosiasi dengan riwayat menstruasi menyimpang mungkin akibat dari PCOS.

 Faktor risiko dalam peningkatan terjadinya RA diantaranya adalah  jenis kelamin perempuan, genetic atau riwayat keluarga, usia, gaya hidup seperti merokok, dan konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated. (Suarjana, 2009). Obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko. (Symmons, 2006)

D.    Terapi Artritis Reumatoid 

 RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009).
  
Terapi RA bertujuan untuk :
a.            Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b.            Mempertahakan status fungsionalnya
c.            Mengurangi inflamasi
d.            Mengendalikan keterlibatan sistemik
e.            Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
f.             Mengendalikan progresivitas penyakit
g.            Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

Ø  Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid

Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis  In The Year 2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (Symmons, 2006) :

1.      NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan sendi.
2.      Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor dengan hati-hati.
3.      Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius.
4.      Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
5.      Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi RA.

Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini mungkin. Hal ini didapat dari beberapa penelitian yaitu, kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, DMARD terbukti memberikan manfaat yang bermakna bila diberi sedini mungkin, manfaat penggunaan DMARD akan bertambah bila diberi secara kombinasi, dan DMARD baru yang sudah tersedia terbukti memberikan efek yang menguntungkan bagi pasien. Sebelumnya, terapi yang digunakan berupa terapi piramida saja dimana terapi awal yang diberikan adalah terapi untuk mengurangi gejala saat diganosis sudah mulai ditegakkan dan perubahan terapi dilakukan bila kedaaan sudah semakin memburuk (Suarjana, 2009).

DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), pemilihan jenisnya pada pasien harus mempertimbangkan kepatuhan, berat penyakit, pengalaman dokter, dan penyakit penyerta. DMARD yang paling sering digunakan adalah MTX (Metrothexate), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etarnecept. (Suarjana, 2009). 

Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanannya. Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh ACR adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatini serum, dan transaminase hati (Surjana, 2009).
Dalam terapi farmakologi pasien RA, terapi kombinasi memiliki nilai yang lebih superior dibanding monoterapi. Kombinasi yang efektif dan aman digunakan berupa (Suarjana, 2009)

Rekomendasi praktek klinik untuk terapi RA dengan bukti evidence paling baik adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik, krotikosteroid diberikan dalam dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek, terapi kombinasi lebih baik dibanding dengan monoterapi (Suarjana, 2009).

NSAID yang diberikan pada RA digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Obat ini tidak merubah perjalanan penyakit. Penggunaan NSAID pada RA mempunyai resiko komplikasi serius yang dua kali lebih besar daripada penderita OA. Penggunaan obat ini harus dipantau dengan ketat (Suarjana, 2009).

Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Pemberiannya harus diimbangi dengan pemberian kalsium dan vitamin D. Pemberian secara injeksi cukup aman bila hanya mengenai satu sendi dan RA mengakibatkan disabilitas yang bermakna (Suarjana, 2009).  

Ø  Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid

Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009).

Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).

E.     Cara Mengobati Rheumatoid Arthritis Dengan Medis

Pengobatan untuk rheumatoid arthritis hanya dapat membantu mengurangi peradangan di sendi, mengurangi rasa sakit, mencegah dan memperlambat kerusakan sendi.
Meskipun tidak ada cara mengobati rheumatoid arthritis, pengobatan dini dan juga perubahan gaya hidup, konsumsi obat-obatan (herbal atau sebaliknya) dan bedah, dapat mengurangi risiko kerusakan sendi dan membatasi dampak dari kondisi tersebut, serta menyambuhkannya.Pengobatan biasanya akan melibatkan dokter di samping sejumlah dokter spesialis.
Beberapa hal yang bisa dilakukan medis mengobati rheumatoid arthritis adalah mengonsumsi obat, perawatan pendukung dan operasi, serta mengubah gaya hidup. Berikut daftar jelasnya:
·         Obat pereda sakit / OAINS yang biasa digunakan adalah naproxen, ibuprofen, diclofenac.
·         Obat Steroid, ini berguna untuk meredakan nyeri jangka pendek.
·         Perawatan terapi biologis, berguna untuk menghentikan sistem imun menyerang persendian.
·         Obat anti-rematik modifikasi-penyakit (DMARDs), ini untuk meredakan dan menghambat gejala, dan mencegah kerusakan persendian secara permanen .
·         Operasi/bedah, ini dilakukan apabila belum berhasil cegah kerusakan pada persendian.

Bahan Herbal Untuk Cara Mengobati Rheumatoid Arthritis

Di bawah ini adalah daftar bahan alami sebagai obat herbal untuk membantu pengobatan rheumatoid arthritis:

·         Jahe

Gingerol adalah senyawa dalam jahe yang memberikan rasa dan memiliki sifat anti-inflamasi. Elemen tersebut dapat mengurangi aktivitas sel T, yang merupakan sel-sel kekebalan tubuh yang dapat meningkatkan peradangan sistemik.
Cara penggunaannya bisa dengan menggosokkan sedikit minyak jahe pada daerah yang terkena. Kemudian jemur area sendi tersebut dengan sinar matahari selama 5 sampai 10 menit untuk menghasilkan rasa hangatan. Lakukan ini secara teratur.
Sekaligus mengunyah beberapa iris jahe segar setiap hari. Atau menambahkan jahe dalam makanan atau minum 2 sampai 3 cangkir teh jahe setiap hari.

·         Teripang

Didalam tubuh biota dasar laut ini terdapat senyawa kimia tertentu yaitu kondroitin, mukopolisakarida dan glukosamin, yang memiliki efek menguntungkan pada pengderita radang sendi (arthritis). Para peneliti menunjukan penggunaan teripang bermanfaat dalam menjaga keseimbangan prostaglandin, sehingga membantu dalam pengobatan gangguan inflamasi musculo-skeletal seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan rematik tulang belakang.
Oleh karena itu, biota laut ini yang memiliki kondroitin sulfat dan senyawa terkait lainnya dapat menjadi obat tradisional yang bermanfaat untuk menyembuhkan beragam rasa nyeri dan radang sendi. Asupan teripang kering adalah medicinally efektif dalam menekan arthralgia.
Cara konsumsinya kamu bisa ambil beberapa teripang lalu keringkan, setelah itu tumbuk sampai halus, lalu konsumsi 2 kali sehari sebanyak dua sendok makan.
Cara lain juga bisa diterapkan, seperti memasukan teripang ke dalam lauk pauk makanan sehari-hari.







Related Posts

There is no other posts in this category.